1. Pendahuluan
Tulisan ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi suatu barang atau jasa, terutama yang berkaitan dengan konsep biaya produksi dan konsep penawaran.. Tulisan ini mencoba mengkaji perilaku produsen dengan sudut pendekatan yang berbeda dalam memandang biaya produksi dan penawaran. Dalam arti, makalah ini selain akan membandingkannya dengan konsep konvensional, juga dengan mengkaji lebih mendalam model dan konsep biaya produksi dan penawaran yang sudah dibuat oleh para ahli ekonomi islam dan mencoba lebih menyempurnakannya. Hal ini di karenakan jika sekedar membandingkan dengan ekonomi konvensional, sudah banyak makalah lain yang mengemukakannya, sehingga tidak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan. Akan tetapi, bila juga dilakukan pendalaman terhadap konsep dan model yang sudah dibuat oleh para ekonomi Islam, diharapkan ada hal baru yang dapat ditawarkan.
Dalam ekonomi Islam diketahui bahwa ada 4 hal yang dilarang dalam menjalankan aktivitas ekonomi, yaitu : mafsadah, gharar, maisir, dan transaksi riba. Mafsadah, gharar dan maisir sebagai tindakan yang menyebabkan kerusakan (negative externalities) sebagai akibat yang melekat dari suatu aktivitas produksi yang hanya memperhatikan keuntungan semata, walaupun sudah dikemukakan, namun tidak tercerminkan dengan baik di dalam konsep dan model dalam ekonomi Islam, sehingga sisi ini akan mendapat perhatian lebih banyak. Sedangkan pelarangan terhadap transaksi riba tidak akan begitu mewarnai pembahasan tentang konsep biaya produksi dalam Islam, karena sudah dijelaskan dengan lebih detail pada buku ataupun paper makalah dan jurnal lainnya. Sehingga makalah ini akan lebih banyak mencoba membuktikan bagaimana dampak positif terhadap tingkat efisiensi produk apabila dalam proses produksi sebuah perusahaan yang sesuai syariah tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya mafsadah, gharar dan maisir.
Adapun konsep penawaran merupakan bentuk perilaku ekonomi yang sangat penting dalam teori ekonomi, baik makro maupun mikro. Konsep ini juga dapat menjelaskan hubungannya dengan perilaku produsen dalam penetapan harga yang didahului dengan perhitungan biaya produksinya. Bila hukum penawaran ditetapkan dengan mengasumsikan faktor-faktor yang mempengaruhi determinasi harga terhadap penawaran dianggap tetap (ceteris paribus), sedangkan bila penawaran yang menentukan harga maka disebut teori penawaran (tanpa asumsi ceteris paribus). Maka, diperlukan konsensus yang baru terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan yang perlu untuk diperhitungkan di dalam penawaran terkait aspek mafsadah, gharar dan maisir..
2. Konsep Biaya Produksi Dalam Perusahaan Islami Baik ekonomi konvensional maupun sebagian ekonom muslim mengakui bahwa ada 4 faktor produksi utama, yaitu tenaga kerja, modal, sumberdaya alam, dan teknologi. Dari keempat faktor produksi tersebut, modal dikatakan sebagai faktor penting yang memiliki perbedaan besar dalam perspektif ekonomi Islam. Ini dikarenakan adanya unsur interest atau riba dalam modal pada ekonomi konvensional, sedangkan pada ekonomi Islam riba sangat dilarang. Dalam ekonomi Islam dikenal sistem pembiayaan berdasarkan profit sharing ataupun revenue sharing. Hal tersebut tidak akan banyak dibahas disini mengingat sudah banyak buku dan makalah yang mengupasnya. Dengan kata lain, makalah ini akan lebih banyak mengkaji dan mempertanyakn faktor produksi lainnya, yaitu tenaga kerja, sumberdaya alam dan teknologi yang tidak banyak dibahas dalam ekonomi mikro, selain hanya dalam kacamata makro dan itupun untuk melihat hubungannya dengan yang lain (inflasi, pendapatan nasional dsb).
2.1. Tenaga Kerja: Biaya Produksi Atau Aset ? Banyak literatur ekonomi, baik ekonomi konvensional atapun ekonomi Islam meyebutkan bahwa tenaga kerja sebagai faktor produksi itu adalah biaya bagi perusahaan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab efek ekonomi biaya tinggi dalam sekup mikro adalah besarnya beban gaji karyawan sebagai komponen biaya dalam perhitungan produksi, karena ketika harga barang naik, yang umumnya langsung berkaitan adalah permintaan kenaikan gaji untuk menyesuaikan dengan lonjakan harga barang. Itu jika menggunakan sudut pandang bahwa tenaga kerja merupakan biaya.
Sekarang, bagaimana bila sudut pandang tersebut di ubah bahwa tenaga kerja adalah aset investasi dan bukan biaya. Dari sisi literatur sepertinya tidak banyak ditemukan literatur ekonomi yang mengemukakan hendaknya tenaga kerja dipandang sebagai aset dan bukan biaya (kecuali sejumlah buku terbaru yang mengetengahkan pentingnya memberi peran baru pada modal manusia (human capital) dalam melesatkan laju perekonomian seperti Nonaka dan Takeuchi (1995) dalam bukunya yang berjudul ” The Knowledge Creating Company” yang kini mulai menjadi tren di era ekonomi baru berbasis pengetahuan). Pandangan tenaga kerja sebagai biaya ini mungkin disebabkan begitu intrinsiknya pandangan David Ricardo dalam bukunya ”On The Principles of Political Economy and Taxations” yang memandang hubungan antara pengusaha atau pemilik modal, tenaga kerja dan lahan yang tersedia adalah sebentuk konflik kelas yang saling bersaing sepanjang waktu. Karena asumsi yang dipakainya, bila upah naik, maka profit turun dan begitupun sebaliknya, untuk mendapatkan bagian barang dan jasa yang diproduksi. (lihat gambar berikut)
Gambar 1.Model ”Konflik Kelas” Ricardo:
Dari gambar di atas terlihat bahwa pekerja dan Kapitalis (pemilik) saling bersaing untuk mendapatkan bagian barang dan jasa yang diproduksi Sehingga, menjadi menarik untuk dikaji secara mendalam, bagaimana bila tenaga kerja adalah aset dan bukan biaya, bagaimana menurunkan ke dalam model ekonominya. Dalam hal ini, tidak mudah menurunkannya jika menggunakan ekonomi konvensional. Tetapi menjadi lebih mudah bila menurunkannya dengan menggunakan pendekatan syariah, yaitu bagi hasil, baik revenue sharing ataupun profit-loss sharing dengan format musyarokah. Dalam hal ini, tenaga kerja dikatakan sebagai aset karena mereka menginvestasikan waktu dan tenaga mereka untuk berproduksi. Jadi, tenaga kerja pun berhak mendapat bagian yang sepadan dengan investor dalam bentuk musyarokah, dan tidak dalam bentuk upah atau gaji karena diposisikan sebagai ajir.
Gambar 2. Perbandingan Model Skim Revenue untuk tenaga kerja antara sistem gaji dan sistem sharing (bagi hasil)
Model skim jaroh (upah/ gaji) pada perusahaan yang menerapkan syariah sebagus apapun praktiknya, tidak akan dapat lepas dari model ’konflik kelas’ Ricardo yang kemudian menjadi alat analisis Marx sehingga memunculkan sosialisme. Sehingga, boleh jadi para pendukung Marx kontemporer akan berbalik menyerang pandangan ekonomi Islam karena situasi konflik yang mendasarinya masih akan terus berlanjut di dalam sistem ekonomi Islam. Dan itu sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.
Dengan mekanisme PLS, tenaga kerja tidak lagi menjadi inferior, dan pengelola ataupun pemilik usaha serta investor tidak lagi merasa superior. Melainkan sebagaimana yang diimpikan oleh para ekonom muslim akan terciptanya kondisi kemitraan yang sesungguhnya, tidak saja antara investor dengan pemilik usaha ataupun pengelola, melainkan juga pengelola dengan tenaga kerja. Sehingga efek mafsadah dari kompetisi upah pekerja vs profit pengusaha dapat dieliminir, disamping mengurangi bahaya perbudakan manusia oleh manusia di dalam perusahaan.
Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan syariah, meski tidak memakai bunga, masih memiliki beban biaya yang tinggi, karena faktor tenaga kerja masuk ke dalam komponen biaya. Apabila menggunakan mekanisme PLS, dengan harga dan jumlah barang produksi yang sama, tentu akan menghasilkan keuntungan bersama yang jauh lebih besar bagi setiap pihak. Sehingga, pada satu waktu, si pekerja yang berada di level paling bawah pun juga dapat membayar zakat karena bagian keuntungan untuknya juga meningkat seiring kemajuan perusahaan.
2.2. Sumber Daya Alam: Mengatasi Eksternalitas Negatif Pada Lingkungan
Salah satu upaya perusahaan dalam meningkatkan keuntungan dari kegiatan usaha umumnya adalah dengan melakukan efisiensi biaya pada input dan proses namun dapat menghasilkan output yang sama atau bahkan lebih Akan tetapi, sering dijumpai di lapangan bahwa karena efisiensi biaya demi meningkatkan keuntungan, yang muncul adalah kerugian akibat datangnya persoalan eksternalitas negatif bagi lingkungan sekitar tempat perusahaan beroperasi yang tentunya berimbas kepada kerugian perusahaan itu sendiri.
Cara yang umum dipakai perusahaan konvensional dalam mensiasati biaya eksternalitas yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan usahanya adalah dengan membebankan biaya eksternalitas tersebut kepada konsumen. Hal ini mungkin terdengar logis, tapi tidak jika ditinjau dari bahaya gharar. Bahwa konsumen harus membayarkan sejumlah uang untuk membeli barang yang jika mereka tahu bahwa barang itu diproduksi dengan turut menghasilkan bahaya limbah yang berbahaya, baik bagi mereka ataupun orang lain, maka mereka tidak akan membelinya.
Kesadaran konsumen di berbagai belahan dunia saat ini semakin meningkat terkait maraknya kritikan dari para ekologis ketika mengusung isyu kesehatan manusia itu sendiri ketika mengkonsumsi produk yang dibelinya. Sehingga yang ditakutkan produsen saat ini adalah bangkitnya kesadaran konsumen di seluruh dunia terhadap apa-apa yang masuk ke perut mereka, kecuali di Indonesia yang sebagian besar konsumennya masih dapat ’ditipu’.
Boleh jadi berbagai perusahaan di Indonesia saat ini masih cukup dapat ’bernapas lega’ karena tidak banyak mendapat kritik dan serangan dari kalangan ekologis seluruh dunia. Namun, diduga kuat kritik-kritik mereka akan semakin gencar di tahun-tahun mendatang, sementara ekonomi Islam sendiri masih belum dapat memformulasikan secara sistematis mengatasi eksternalitas selain menyandarkan pada etika Islam dan berlindung di balik etika tersebut.
Boleh jadi, yang akan dikritik oleh para ekologis di seluruh dunia adalah perusahan-perusahaan yang mengaku syariah tapi tidak dapat mengatasi limbah hasil kegiatan usahanya sendiri (mulai dari kertas-kertas berkas laporan sampai pendingin ruangan). Oleh karena itu, perlu dibuat model ekodesain usaha yang dapat menjadi rujukan perusahaan-perusahaan syariah dalam mengatasi eksternalitas yang dihasilkan dari kegiatan usahanya sendiri.
Salah satu model ekodesain usaha tersebut misalnya membangun gedung kantor cukup dengan bata alami. Meskipun kelihatannya tidak estetik, penggunaan bata alami mampu menyerap udara luar ruang dan mempertahankan kondisi udara dalam ruang tetap sejuk, sehingga tidak diperlukan pendingin ruangan tambahan. Jika bangunannya bertingkat, maka posisi cahaya masuk haruslah menyamping dari arah lintasan matahari, sehingga jendela ruangan dapat dibuka tanpa harus khawatir terkena langsung udara panas dari arah depan. Contoh ekodesain usaha lainnya adalah memanfaatkan kertas-kertas berkas laporan sebagai media artistik promosi pada perusahaan. Dalam arti, setiap kertas berkas laporan yang tak lagi dipakai, isi laporannya tetap dapat diabadikan dengan proses digitalisasi, sementara kertas-kertas itu sendiri masih dapat dikumpulkan, ditempel di bagian dalam ruang dan dicat dengan warna-warni oleh para karyawan sehingga memenuhi dinding ruang ataupun dibingkai dengan pigura sehingga terlihat unik.
Sehingga, tidak saja kertas-kertas tersebut menjadi sebentuk wallpaper pelapis dinding yang kreatif tetapi juga media ”menghidupkan” suasana dalam ruang. Khawatir kehilangan formalitasnya? Sejumlah penelitian membuktikan bahwa interior ruang yang dinamis dapat meningkatkan produktivitas karyawan perusahaan yang bersangkutan.
2.3. Teknologi: Mensiasati dari produksi masal ke produksi kustom.
Keberadaan teknologi disebut-sebut sebagai pemicu peningkatan profitabilitas yang signifikan. Dimana ketika penambahan modal tak lagi mampu meningkatkan jumlah output, maka menemukan teknologi baru yang dapat mendongkrak jumlah output sekaligus mengurangi input produksi (tanpa mengurangi tenaga kerja) laksana mencari oase baru sebagai tugas utama perusahaan. Pencarian teknologi baru pun merupakan sebuah hal yang krusial mengingat biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit serta amat mungkin membutuhkan waktu yang panjang untuk menemukannya. Walaupun belakangan ini teknologi baru selalu ditemukan setiap tahunnya. Oleh karena itu, umumnya perusahaan dalam model ekonomi konvensional, menekankan perubahan pada dimensi proses pengerjaan dengan tetap menggunakan teknologi lama. Yakni dari produksi masal ke produksi kustom, karena lebih hemat biaya. Sebelum ditemukannya teknologi baru.
Produksi masal didefinisikan sebagai produksi barang yang sama, baik jenis dan ukuran dalam jumlah banyak. Contohnya seluruh area sawah hanya ditanami padi atau jagung pada perkebunan, atau produksi celana panjang pada pabrik celana, atau produksi mobil pada sebuah pabrik mobil. Seringkali produksi masal menjadi ukuran output yang ditetapkan agar perhitungan biaya dan keuntungan dapat dipastikan sedemikian rupa, serta demi menjaga ketercukupan pasokan di pasaran. Hal tersebut memang terdengar logis dan tidak salah. Tapi hal ini yang justru memunculkan inefisiensi dan menimbulkan bahaya maisyir dikarenakan seluruh sumberdaya dimaksimalkan sedemikian rupa pada satu periode produksi, sehingga apabila tiba-tiba sawah tersebut diserang hama sehingga habis atau pun pabrik mobil tadi tiba-tiba mengalami musibah, maka habislah semua sumberdaya berikut outputnya tersebut dengan sekejap, akibat uncertainty of future situation.
Oleh karena itu, sejumlah perusahaan kemudian menggeser pola produksinya dari masal ke kustom. Produksi kustom didefinisikan sebagai memproduksi barang dan jasa yang jumlah dan harganya disesuaikan dengan segmen (niche) pasar yang dibidik. Dengan melakukan produksi kustom, perusahaan dapat memperkirakan lebih efisien berapa dan kapan barang tersebut akan diproduksi.
Model produksi kustom ini sesungguhnya mirip dengan cara Nabi berdagang, dimana beliau tidak menjual barang yang sama terus-menerus, melainkan pada satu waktu ia menjual kain, pada waktu yang lain ia menjual tembikar yang tentunya dengan kualitas yang bagus. Dalam implementasinya, sebuah perusahaan dapat menerapkan model produksi JUST-IN-TIME atau pun rotasi produk.
Sebagai contoh: sebuah pabrik TV tidak perlu memproduksi banyak TV untuk mengejar keuntungan optimal. Cukup membuat 1000 unit TV yang dikustomisasi sesuai segmentasi konsumen, misalnya TV untuk anak muda, yang umumnya suka dengan desain yang unik, warna favorit serta bila memungkinkan bersifat portable. Harga tidak perlu mengikuti harga pasar, bahkan membuat harga baru karena produknya dibuat khusus dan inovatif. Bila ada pesaing yang mencoba meniru, produsen TV dapat melakukan kustomisasi baru lagi yang sulit diikuti oleh pesaing tersebut. sehingga efisiensi bukan pada minimalisasi input dan maksimalisasi output, tapi pada spesifikasi input untuk membuat produk yang optimal dengan segmen pasar yang dituju.
Untuk kasus yang ekstrem seperti beras, sebagai makanan pokok orang Indonesia yang katanya tidak dapat digantikan dengan yang lain sehingga lebih sering impor daripada swasembada. Sebetulnya juga dapat menggunakan pola rotasi produksi yang bersifat menguntungkan petani (karena umumnya petani tertindas akibat ketetapan harga dasar gabah pemerintah), ramah lingkungan dan juga kustomis dengan segmen.
Bila umumnya petani terbebani biaya produksi yang tinggi pada pestisida dan obat-obatan lainnya namun harga jual tidak sepadan dengan pengeluarannya, petani tersebut dapat melakukan rotasi pola produksi antara pertanian yang menggunakan pestisida dengan pertanian alami di satu area lahan. Bila tanah aslinya sudah lama tercemari dengan pestisida untuk pertanian pada umumnya. Maka ketika rotasi produksi padi dengan cara pertanian alami dapat menggunakan sistem pertanian hidroponik di atas lahan yang tercemar tersebut. Si petani memproduksi 2 jenis padi yang berbeda dan tentunya dapat dijual dengan harga yang berbeda, yang pemerintah pun tidak dapat memaksakannya. Karena beras hasil pertanian alami akan berharga lebih mahal daripada beras hasil rekasaya genetik ataupun tercampur pestisida. Terdengar kejam dan berpihak pada yang kaya? Tidak, jika lembaga perbankan syariah ataupun badan Zakat dapat mensupport petani untuk memproduksi padi alami dan sehat ketimbang memproduksi padi hasil rekayasa genetik bercampur pestisida.
ReferensiAdiwarman Karim, 2003. Ekonomi Mikro Islam. IIIT Indonesia.Mark Skoussen, 2001 Teori-teori ekonomi modern, Prenada: Jakarta Don Tapscott, 2003, Digital Economy, Abdi Tandur: Jakarta
RAFI, 2004, Enclosure of the mind (kapling-kapling daya cipta manusia): monopoli-
_____ monopoli intelektual atas kearifan local & keanekaragaman hayati, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas:
Jakarta
Vandana Shiva, 2001, Bebas dari Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta